Tari Saman

8 04 2010

Tari Saman adalah salah satu tarian daerah Aceh yang paling terkenal saat ini. Tarian ini berasal dari dataran tinggi Gayo. Pada masa lalu, Tari Saman biasanya ditampilkan untuk merayakan peristiwa – peristiwa penting dalam adat dan masyarakat Aceh. Selain itu biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad. Pada kenyataannya nama “Saman” diperoleh dari salah satu ulama besar Aceh, Syech Saman.

Tari Saman biasanya ditampilkan menggunakan iringan alat musik, berupa gendang dan menggunakan suara dari para penari dan tepuk tangan mereka yang biasanya dikombinasikan dengan memukul dada dan pangkal paha mereka sebagai sinkronisasi dan menghempaskan badan ke berbagai arah.





Tari Gambyong

8 04 2010

TARI GAMBYONG

Gambyong merupakan tarian khas Jawa Tengah yang biasanya ditampilkan untuk menyambut tamu.

Tarian ini merupakan sejenis tarian pergaulan di masyarakat. Ciri khas pertunjukan Tari Gambyong, sebelum dimulai selalu dibuka dengan gendhing Pangkur. Tariannya terlihat indah dan elok apabila si penari mampu menyelaraskan gerak dengan irama kendang. Sebab, kendang itu biasa disebut otot tarian dan pemandu gendhing.

Pada zaman Surakarta, instrumen pengiring tarian jalanan dilengkapi dengan bonang dan gong. Gamelan yang dipakai biasanya meliputi gender, penerus gender, kendang, kenong, kempul, dan gong. Semua instrumen itu dibawa ke mana-mana dengan cara dipikul.

Umum dikenal di kalangan penabuh instrumen Tari Gambyong, memainkan kendang bukanlah sesuatu yang mudah dan harus mempunyai jiwa seni yang tinggi yang dapat mengikuti irama sampai kedalam perasaan pengendang tersebut. Pengendang harus mampu jumbuh dengan keluwesan tarian serta mampu berpadu dengan irama gendhing. Maka tak heran, sering terjadi seorang penari Gambyong tidak bisa dipisahkan dengan pengendang yang selalu mengiringinya. Begitu juga sebaliknya, seorang pengendang yang telah tahu lagak-lagu si penari Gambyong akan mudah melakukan harmonisasi.





Rumah Gadang

8 04 2010
RUMAH ADAT GADANG
Rumah Gadang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau, provinsi Sumatra Barat.Rumah ini memiliki keunikan bentuk arsitektur yaitu dengan atap yang menyerupai tanduk kerbau dibuat dari bahan ijuk. Dihalaman depan Rumah Gadang biasanya selalu terdapat dua buah bangunan Rangkiang, digunakan untuk menyimpan padi. Rumah Gadang pada sayap bangunan sebelah kanan dan kirinya terdapat ruang anjuang (anjung) sebagai tempat pengantin bersanding atau tempat penobatan kepala adat, karena itu rumah Gadang dinamakan pula sebagai rumah Baanjuang. Anjuang pada keselarasan Bodi-Chaniago tidak memakai tongkat penyangga di bawahnya, sedangkan untuk golongan kesalarasan Koto-Piliang memakai tongkat penyangga. Hal ini sesuai filosofi yang dianut kedua golongan ini yang berbeda, salah satu golongan menganut prinsip pemerintahan yang hirarkies menggunakan anjuang yang memakai tongkat penyangga, pada golongan lainnya anjuang seolah-olah mengapung di udara.

(sumber : Wikipedia Indonesia)





Rumah Adat Tongkonan

8 04 2010

Tongkonan di Tanah Toraja mempunyai fungsi sosial, budaya, dan adat yang berbeda-beda. Salah satu fungsinya yaitu sebagai tempat untuk menyimpan jenazah.

SUASANA masih pagi. Ketika kabut perlahan menghilang di sebuah bukit kecil samar-samar mulai nampak atap dari bangunan kecil. Ujung atapnya tampak seperti tanduk kerbau namun tak seruncing aslinya. Atap tersebut bukan lagi terbuat dari alang-alang seperti bangunan aslinya tetapi sudah tergantikan dengan seng. Bangunan dengan atap meruncing itu bernama Baruang Tongkonan atau biasa disebut Tongkonan, rumah adat orang Toraja.

“Tongkon artinya duduk. Kata ‘an’ bisa dikatakan tempat,” kata Andre, salah seorang warga Desa Tondon, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Tongkonan adalah tempat orang di desa untuk berkumpul, bermusyawarah, dan menyelesaikan masalah-masalah adat. Tangannya lalu menunjuk ke arah Pegunungan Latimojong,

“Nenek moyang Orang Toraja dari sana, dan gunung. Dulu, Puang Matua menurunkan tetaa-tetaa Toraja.”  Puang Matua artinya Sang Pencipta, atau Maha Esa menurut orang Toraja yang menciptakan isi bumi seluruh isinya.

Menghadap Ke Utara Hampir semua rumah orang Toraja menghadap ke arah utara. Hal ini merujuk Puang Matua berada di kepada dunia yaitu arah utara. Menghadap ke arah Puang Matua berarti menghormati clan dipercaya selalu akan mendapat berkah. Ketika penghuni menginjakkan kakinya di luar rumah, maka seluruh hidupnya akan diserahkan kepada Puang Matua.

Tongkonan sendiri bentuknya adalah rumah panggung yang dibangun dari kombinasi batang kayu dan lembaran papan. Kalau diamati, denahnya berbentuk persegi panjang mengikuti bentuk praktis dari material kayu. Tidak ada pelitur atau pernis, semuanya berasal dari kayu uru, sejenis kayu lokal yang berasal dari Sulawesi. Kualltas kayunya cukup baik dan banyak dijumpal dijumpal di daerah Toraja.

Ada tiga bagian dari Tongkonan; kolong (Sulluk Banua), bagan (Kale Banua) dan atap (Ratiang Banua). Dilihat dari tampak samping, pembagian ini nampak jelas darn pola struktur kayunya. Pada kolong nampak ruang kosong dan tertutup pada bagian dindingnya yang sambungannya dari papan dengan ketebalan sekitar 5-7 cm.

Pada bagian atap, bentuknya melengkung mirip tanduk kerbau. Di sisi barat dan timur bangunan terdapat jendela kecil, tempat masuknya sinar matahari dan aliran angin. Tongkonan mempunyai masing-masing kolom yang berkumpu pada batu. Kolom utamanya menjadi penyangga struktur atap di sisi ujungnya.

Tidak ada ketentuan khusus ukuran struktur kayu Tongkonan, semua berdasarkan ketersediaan bahan baku kayu uru di pasaran. Pada Kale Banua yang berfungsi sebagai tempat tinggal, lantainya terdiri dari lembaran papan yang diperkuat dengan struktur lantai panggung.

Pada bagian ini mempunyai beberapa fungsi lain seperti ruang istirahat tamu sekaligus ruang upacara syukuran yang berada di di sisi depan dan sebagai ruang keluarga yang sekaligus digunakan sebagai ruang menempatkan jenazah pada saat upacara pemakaman. Pada sisi belakang bangunan terdapat ruang tidur bagi anggota keluarga.





Rumah Adat Joglo

8 04 2010

Rumah Joglo

Rumah Joglo ini kebanyakan hanya dimiliki oleh mereka orang dari kalangan yang mampu. Hal ini mungkin disebabkan rumah bentuk joglo membutuhkan bahan bangunan yang lebih banyak dan mahal daripada rumah bentuk yang lain. Masyarakat jawa pada masa lampau menganggap rumah joglo tidak boleh dimiliki oleh orang kebanyakan, tetapi rumah joglo hanya diperkenankan untuk rumah kaum bangsawan, istana raja, dan pangeran, serta or ang yang terpandang atau dihormati oleh sesamanya saja. terkadang rumah joglo ini bisa digunakan oleh segenap lapisan masyarakat dan ada juga untuk yang lain, seperti contohnya gedung pertemuan d an kantor-kantor.

Rumah bentuk joglo selain membutuhkan bahan yang lebih banyak, juga membutuhkan pembiayaan yang besar, terlebih jika rumah tersebut mengalami kerusakan dan perlu diperbaiki.

Pada dasarnya, rumah bentuk joglo itu berdenah bujur sangkar. Dan pada mulanya bentuk ini mempunyai empat pokok tiang di tengah yang di sebut saka guru, dan digunakan blandar bersusun yang di sebut tumpangsari. Blandar tumpangsari ini bersusun ke atas, makin ke atas makin melebar. Jadi awalnya hanya berupa bagian tengah dari rumah bentuk joglo zaman sekarang. Perkembangan selanjutnya, diberikan tambahan-tambahan pada bagian-bagian samping, sehingga tiang di tambah menurut kebutuhan. Selain itu bentuk denah juga mengalami perubahan menurut penambahannya. Perubahan-perubahan tadi ada yang hanya bersifat sekedar tambahan biasa, tetapi ada juga yang bersifat perubahan konstruksi.

Rumah adat joglo yang merupakan rumah peninggalan adat kuno dengan karya seninya yang bermutu memiliki nilai arsitektur tinggi sebagai wujud dan kebudayaan daerah yang sekaligus merupakan salah satu wujud seni bangunan atau gaya seni bangunan tradisional.

Pada bagian pintu masuk memiliki tiga buah pintu,yakni pintu utama di tengah dan pintu kedua yang berada di samping kiri dan kanan pintu utama. Ketiga bagian pintu tersebut memiliki makna simbolis bahwa kupu tarung yang berada di tengah untuk keluarga besar, sementara dua pintu di samping kanan dan kiri untuk besan.

sumber : njowo.multiply.com





Baju Kurung

8 04 2010

Baju-baju adat MinangKabau yang kami pahami biasanya adalah semacam baju kurung yang longgar (tidak ketat), tebal (tidak transparan, tidak menerawang, tidak tembus pandang), sopan, tertutup mulai dari leher sampai ke mata kaki dan dihiasi dengan tutup kepala yang bentuknya beraneka ragam sesuai dengan daerah asal yang lebih spesifik.

Khusus untuk baju penganten wanita, kami mengenal 2 jenis pakaian :
1. Pakaian adat minang standar, yaitu baju kurung dan kain yang dilengkapi dengan suntiang, yaitu semacam hiasan kepala yang menyerupai kipas – seperti pada gambar terlampir.


2. Pakaian adat minang Koto Gadang, yaitu baju kurung dan kain yang tidak dilengkapi dengan suntiang namun dilengkapi dengan selendang yang disampirkan di kepala.

Note : jika ada pembaca yang lebih paham, mohon dikoreksi ya, mengenai pakem baju penganten di atas.

Demikian juga halnya dengan warna, sepemahaman saya baju adat MinangKabau punya warna-warna pakem yang menjadi ciri khasnya.

Oleh karena baju adat minangkabau yang cenderung tertutup, longgar dan tidak transparan ini, maka sangat mudah memadukannya dengan jilbab tanpa menghilangkan unsur budaya aslinya.





Hello world!

8 01 2009

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!